Hidup
merupakan sebuah konvoi roda dua ramai-ramai berbaris rapi di tepi kiri jalan
raya. Masing-masing pengendaranya memiliki tujuan yang sama dan satu. Sekalipun
berada pada lajur yang sama dengan pengendara roda dua lain pada kumpulannya,
tiap-tiap dari mereka memiliki kesempatan yang berbeda. Satu dan yang lain. Pun dengan apa yang kita sebut ‘waktu yang
tepat’. Untuk sampai pada titik yang dituju, masing-masing mengantongi
momentumnya sendiri-sendiri.
Sering
kali dalam satu perjalanan, iring-iringan roda dua harus terhambat oleh truk
muatan berat. Kebetulan jalanan lengang. Beberapa roda dua barisan depan
mendahului truk muatan tadi dengan mudahnya. Sampai lalu datang bus besar dari
arah lawan, kencang dan ugal-ugalan (layaknya bus antar kota yang kita tahu). Sayang. Saat bus tadi semakin mengikis
jarak dengan rombongan, gerombolan iring-iringan roda dua bagian tengah dan
belakang belum sempat menggagahi si truk muatan berat dengan lajunya. Begitulah. Mereka lalu dipaksa menarik
rem atau sekedar mengendurkan gas, mengurangi kecepatan. Sebab, untuk terus
memaksakan roda dua mereka seirama dengan pengendara yang telah melaju lebih dulu
belum tentu mengantar mereka pada selamat.
(Well, the upfront group may slow down their
speed and wait for the rest to catch up, but the fact that the rest of the
group’s left behind remains unchanged, at least for the moment).
Sedang,
barisan depan terus menjauh, barisan tengah konvoi tadi mencoba mengejar mereka
sebisanya. Namun, orang-orang pada baris belakang tidak seberuntung itu.
Pertemuan singkat dengan satu buah bus antar kota mengantar mereka pada
perkara-perkara yang sama menghambatnya. Lampu merah dipersimpangan. Becak yang pelan. Sedan-sedan keluaran jepang
yang memenuhi badan jalan. Peristiwa yang sesepele berapa detik tadi
membuat mereka kehilangan lampu hijau mereka yang berharga. Dan untuk terus
melanjutkan jalan panjangnya, mereka dipaksa untuk mengambil momentum
setelahnya. Yang telah lain, tentu.
That’s ok though. There’s never a right time. Well, if there’s one I believe
that a right time it should only be a time when we get to our goal ‘safely’.
Poinnya,
sekalipun tiap-tiap mereka bertolak dari titik dan waktu yang sama, dan
memiliki tujuan yang sama, kecil kemungkinan segala perkaranya berjalan sesuai
dengan apa yang orang-orang hitamkan di atas putih. Kan??
The real case happens in our lives. Often.
Tidak jarang
orang-orang membandingkan linimasanya dengan individu-individu lain
sebayanya. Perkara-perkara remeh semisal “menikah sebelum 30. Punya mobil,
punya rumah selang sebentar setelahnya. Punya anak, punya tabungan sekian
banyak”. Fuck off!!
Just who the hell set the kind of standards? AREN’T WE SIMPLY DESTINED TO BE HAPPY?
I know it. It's one classic stuff I said. But, are we done yet?
Note:
Tulisan
ini rampung setelah percakapan singkat bersama mas-mas pemangkas rambut sewaktu cukur.
No comments:
Post a Comment
Pendapatmu??