Banyak
hal sebetulnya yang dapat menjadikan manusia mati dengan mudahnya. Kurang air
mati. Tanpa oksigen mati. Tak makan mati. Perihal mempertahankan hidup, aku
yakin kecoa, tikus, atau ular jauh lebih unggul. Manusia lemah memang. Meski
demikian, uniknya manusia menjadi salah satu penghuni bumi terbanyak dengan
tujuh milyar lebih orangnya yang tersebar di hampir setiap tempat di planet
dengan diameter 12.742 km ini. (Wow, nice info, Zein!! Jadi tahu diameter bumi
kan kalian?? Ehehe). Namun, seperti yang aku bilang di awal tadi, orang-orang
meninggal begitu gampang. Sebetulnya. Seharusnya. Lalu, apa yang membuat kita terus hidup?
Pandangan
berbeda tentu dimiliki setiap orangnya. Jawaban tadi terdengar membosankan
mungkin. Tapi, bagaimana lagi? Begitu
memang. Meski demikian, jelasnya ada hal-hal di luar perkara materil yang
mendorong manusia mempertahankan kehidupannya. Misal saja perasaan sayang, benci,
dan kasih. Boleh jadi pula demi pencapaian, pengakuan, keberterimaan? Atau sekadar
rasa penasaran mengenai apa-apa yang akan seseorang jumpai di esok hari bisa
jadi. Jelasnya, hal-hal yang bukan sebatas minum, makan dan bernafas. Maksudku begini. Bahkan aku yakin pun minum
dan makan bukan sebatas perkara perut, kan? Sebab jika iya, untuk apa orang susah
payah mengais air di tandusnya pasir? Atau memaksakan diri mendapat sesuap
nasi? Maaf, aku tiada bermaksud buruk. Aku hanya ingin membuat jelas bahwa apa
yang membuat manusia terus hidup bukan sebatas perkara-perkara yang berwujud.
Dari
permisalan yang aku beri mengenai hal-hal yang mendorong manusia mempertahankan
hidup, ada unsur yang kesertannya tak dapat ditolak. Adalah keterlibatan orang
lain atau keterikatan dengan orang lain yang mendorong manusia menjalani
usaha-usaha untuk sebisa mungkin hidup. Dengan sayang dan kasihnya, orang-orang
menginginkan orang lain bahagia. Dengan rasa benci, kemalangan orang-orang
tertentu justru menjadikannya bahagia. Berlaku
sebaliknya. Dengan pencapaian, pengakuan, keberterimaan yang orang lain
anugerahkan, orang-orang menjumpai dirinya berarti. Serta dengan rasa
penasarannya, manusia belajar baik mengeja dirinya sendiri maupun membaca orang
lain. Harapannya, rasa penasaran tersebut mampu membawa dirinya menemui arti
hidup. Sedihnya, arti hidup tidak mungkin dimaknai seorang diri. (Lebih sedih
lagi orang-orang lagi nyari jati diri, tapi temennya cuma dikit. Mana yang dua
kabur lagi. Dobleh jancuk!!) Dan yang demikian menggiring manusia menjalin
jalannya bersama orang lain.
Tidak
berhenti disitu, tentu. Sebab, bukankah manusia betul-betul lain? Kebanyakan orang
bahkan terus mengusahakan hidupnya meski setelah menemui kebetuhan emosi mereka
tidak terpenuhi. Beberapa yang lain pula terus hidup meski hidupnya ditimpa
kegagalan yang tak ada henti-hentinya. Sebenarnya, untuk yang terakhir ini aku
tidak betul-betul yakin. Aku sempat bertanya hal yang serupa pada seseorang. Kemarin. Baru saja. “Bagaimana
orang-orang mengusahakan hidupnya bahkan setelah gagal dan mungkin masih akan gagal berkali-kali?” tanyaku
begitu. Jawabnya, dengan tidak terpaut dengan masa lalu berlebih-lebihan maupun
terlalu visioner. “Master the day!!”,
katanya.
Dengan tanggapannya aku keberatan. Tentu.
How if today is the day we face
our greatest failures of all time? We can’t just say ‘master the day’, can we?
Jujur,
aku terkejut menjumpai diri masih terus mengusahakan hidup sebisa mungkin
sekalipun aku tidak punya jawaban atas
perkara tadi.
..
.
.
Catatan: Kutipan di gambar nggak nyambung-nyambung amat si. Kata-katanya bagus aja. Aku suka.
No comments:
Post a Comment
Pendapatmu??