Beberapa
orang (meski banyak, namun tidak semuanya) mungkin payah untuk menemui diri dalam
rasa salah. Pun dengan mengakuinya. Sebenarnya,
aku tidak yakin menggunakan kata ‘beberapa orang’ di awal tadi. Karena boleh
jadi mereka tidak, dan maka aku sendiri. Baik.
Sekarang aku. Baik. Aku sempat mendapati diriku demikian. Tidak mau salah,
pun disalahkan. Bahkan untuk perkara-perkara yang menyangkut kemalanganku sendiri.
atau ketidakbahagiaanku. Aku ingin menjadi pihak yang benar senantiasa. Lalu,
untuk menjadi pihak yang benar, aku mulai meyalahkan orang-orang. Aku bahkan
tidak tahu jika sejauh ini aku hanya mencari pembenaran atas apa-apa yang tidak
aku selesaikan benar-benar. Sampai lalu, beberapa malam ke belakang, seorang
teman mengungkapkan yang demikian. Jika aku tidak sebenar yang aku pikir. Dan
mungkin dia benar. Meski akan lebih baik tentunya bagiku menganggap diri
sebagai pihak yang disalahi. Kan??
Berbahagia. Menjadi bahagia
menjadi sepenuhnya tanggung jawabku. Pun
untuk menjadi tidak. Hal tadi bukan lagi masalah orang-orang tertentu.
Melainkan milikku. Begitu kurang lebihnya poin dari percakapan yang aku mulai
lebih kurangnya jam 8 malam. Menjadi tidak bahagia dan merasa disalahi
merupakan narasiku. Narasi dimana di atasnya aku tinggikan pembenaran atas
hal-hal yang sebenarnya belum tentu benar. Boleh jadi, ‘menyalahiku’ merupakan
hal yang sama benarnya bagi lain pihak yang aku anggap salah. Menurutnya tentu. Bahwa dengan aku menyalahkannya,
seseorang juga merasa disalahi dan dibuat tidak nyaman. Dengan begitu, dengan
menyalahkannya atas ketidakbahagiaan sendiri, aku salah.
Sejujurnya,
aku jadi teringat akan satu kalimat dari seorang yang setiap kata dan tindaknya
aku panut betul-betul. Every text takes
side. Begitu katanya. Bahwa setiap narasi atau cerita memiliki sudut
pandang masing-masing. Dan masing-masing darinya memiliki keberpihakan. Maka,
adalah betul bahwa selama ini merasa disalahi adalah pembenaran atas kebahagiaan
yang tidak aku miliki. Lalu, Menjadi tidak
bahagia menjadi sepenuhnya tanggung jawabku.
Tentu
menyadari (atau mungkin tepatnya disadarkan akan) hal demikian tidak
semena-mena menjadikan aku menjadi manusia yang berbahagia. Lebih-lebih, ibarat
bahagia adalah sebuah cita-cita, yang demikian menjadi luar biasa muluk-muluk
bagi aku yang kelam kabut. Bagaimana lagi. Memahami bahwa bahagia atau tidaknya
aku sepenuhnya tanggung jawabku adalah cukup.
Aku
mau tidak ada satu katapun dari tulisanku yang bisa kau pelajari betul-betul. Dengan
begitu, aku dapat tahu bahwa kamu sudah menjadi manusia yang berbahagia
sama betulnya. Selamat berbahagia :)
No comments:
Post a Comment
Pendapatmu??