Muka
dua. Satu ungkapan yang aku yakin tidak lagi asing mengandang ke
kuping-kupingmu itu agaknya mengandung makna lain yang kuranglah laik. Bahwa
bermuka dua sama benar dengan munafik. Sayang. Dengan pendapat barusan, aku
tidak betul-betul setuju (sekalipun tidak bermaksud menyalahkan). Sedang, tidak jujur adalah deskripsi paling
lembut yang dapat aku temui mengenai istilah tadi. Adalah betul bahwa beberapa
orang kerap kali merasa dikecewakan sewaktu menemui pribadi yang dianggapnya
dia paham, pada nyatanya tidak betul-betul dia kenali. Namun, bukankah yang
demikian sangat wajar?
Begini.
Bahwa bermuka dua adalah lumrah, kamu sebaiknya mencoba paham. Bahkan kamu pun
(sadar tidak sadar) boleh jadi demikian. Tapi,
sebentar. Bermuka dua. Dua? Bukankah dua terlampau sedikit? Bahkan tiga,
empat, lima pun bagiku sama sedikitnya. Begini. Lagipula, perkara cara-caramu
mempertunjukkan diri pada pribadi-pribadi selain kamu, bagaimana? Pada orangtuamu?
Temanmu? Sahabat, saudaramu? Guru? Pacar? Orang-orang yang baru kamu kenal? Aku
yakin dalam interaksimu dengan orang-orang barusan, kamu memposisikan diri pada
porsi berbeda-beda, kan? Memperlihatkan hal-hal yang kamu ingin mereka lihat,
dan menyembunyikan hal-hal yang tidak kamu ingin mereka tahu adalah barang
tentu. Maka, biar aku ulang. Bermuka dua adalah wajar, sekalipun aku tidak
berusaha membenarkan.
Dan
yang tadi bisa dibilang persona namanya. Istilah ini dalam ranah psikologi bermakna
wajah yang seorang pribadi tampilkan dalam rangka menyesuaikan diri dengan situasi
sosial dimana si pemilik muka berada. Ringkasnya?
Persona artinya topeng sosial. Tujuannya?
Wajah atau topeng yang demikian seorang hadirkan agar membuat dirinya
menjadi pribadi yang berterima. Bagaimana?
Boleh jadi dengan memberi kesan tertentu yang dipikirnya dapat menyenangkan
tiap-tiap orang. Dengan menelungkupkan sebagian jati dirinya boleh pula. Mengapa?
Begini.
Menyembunyikan beberapa sifat diri dan membunyikan tabiat yang tidak
betul-betul dimiliki tidak begitu saja berarti buruk (sekalipun tidak
semena-mena baik artinya). Dengan tidak menampilkan sesejati-sejatinya jati
diri, seorang barangkali mempertimbangkan perkara baik dan buruk. Sebab,
menjadi sejujur-jujurnya pribadi terkadang menimbulkan hati yang sakit pada
pribadi-pribadi lain. Dan lalu wajah asli dia pilih tepikan, dipasangnya topeng
sosial. Begitulah.
Aku
pun sempat bertanya bukan? Perkara siapa kamu di muka orangtuamu? Temanmu?
Sahabat, saudaramu? Guru? Pacar? Orang-orang yang baru kamu kenal? Satu orang
dan satu yang lain mengenali dirimu sebagai pribadi yang berbeda adalah perkara
yang sangat mungkin. Sebab, boleh jadi kamu dapat menjumpai diri sebagai
sebebas-bebasnya pribadi ketika berinteraksi dengan orang-orang satu, dan tidak
dengan orang-orang satunya. Kan?
Bagaimanapun,
meski menurutku mengenakan topeng sosial tidak sepenuhnya buruk, aku tidak pula
sedang mencoba membenarkan muka dua dalam tiap-tiap situasi. Lebih-lebih,
memakai topeng yang terlalu tebal lama-lama pula dapat menjadikan seseorang terepresi.
Kan? Cukup dulu. Perkara terakhir aku
sambung lain waktu. Aku kurang tidur. Assalamu’alaikum.
Oh iya, tadi aku sempat mau nge-jokes kalau tidak semua yang bertopeng berarti memakai persona. Misal saja pahlawan bertopeng di anime series shin-chan. Sayang, aku bingung mesti aku tempatkan di bagian mana :(
apakah itu adalah sad joke :(
ReplyDeletesadly, it is :(
Delete