(Konsep Biner Mengenai Benar/Salah)
Perihal Buruk Baik
Buruk
dan Baik
Kadang
dipisahkan jauh membentang
Kadang
hanya terpisah diseberang jalan
Kadang
pula cuma sejengkal
Tak
jarang,
mereka
terpisah hanya dengan seutas benang yang ditarik memanjang
.
Hingga
saat seorang berjinjit tepat diatasnya,
Buruk
atau baik bergantung pada sudutmu memandang
.
Yang
Jelas buruk dan baik tak segamblang saat dulu gurumu bilang:
Rambutmu
pendek rapi,
bertopi,
kemeja putih kancing atas terkunci,
berdasi.
Kau murid baik.
.
Ya.
Sayangnya kita tak bisa.
-Purwokerto, 8 Oktober 2016
Bersama seluruh hasil pikirnya,
manusia rumit betul-betul. Pun dengan konsep benar/salah. Beberapa orang
memandang konsep benar/salah serupa hal yang mutlak dan baku (semisal sifat
api, yang mana ketika orang beranggapan bahwa api bersifat dingin maka
pendapatnya mutlak salah), sementara beberapa yang lain melihat benar/salah
selaku hal yang seutuhnya relatif dan subjektif (yang mana nilai dari setiap
hal sangat bergantung pada kultur, tempat, waktu dan suasana). Mendapati
pendapat yang berlainan mengenai konsep benar/salah tidak menjadikan konsep
benar/salah bermasalah. Setidaknya, demikian caraku memandang. Lagipula, jika
yang demikian adalah masalah, maka menyelesaikannya di luar sanggupku.
Lebih-lebih, di antara dua sudut pandang barusan, konsep mana yang benar-benar
benar? Apa ada yang salah di dalam satu dari dua konsep benar/salah? Aku tidak yakin. Menurutmu?
Meskipun demikian, tidak berarti aku tidak cenderung pada satu dari dua hasil berpikir tadi. Iya. Sementara aku tidak bisa menyalahkan pemikiran pertama perihal konsep benar/salah, konsep relativitas dan subjektivitas lebih menarik untuk diulas. Begitu menurutku. Tenang saja. Aku juga tidak berniat mewajibkan kamu menuruti opiniku. Ehehe… Love you beb :)
Betul. Mengulas relativitas dan subjektivitas konsep benar/salah juga berarti turut membahas konteks akan penilaian suatu nilai/tindakan. Dalam hal ini, benar akan dimaknai (kurang/lebihnya) selaku hal yang secara sosial berterima, dan salah sebaliknya. Hal-hal serupa kultur, waktu, tempat, suasana dan sudut pandang juga sangat berpengaruh dalam menentukan benar/salahnya satu perkara. Yang demikian menjadikan satu hal yang sama dapat bernilai benar dalam satu situasi sosial tertentu dan bernilai salah di situasi sosial lain.
Yang menarik dari konsep ini ialah memungkinkannya kompromi untuk ikut berpartisipasi dalam penimbangan baik/buruk suatu hal. Berkompromi berarti sama-sama setuju untuk tidak saling menuntut, yang mana satu pihak tidak akan memaksakan kehendak dan kepercayaannya mengenai satu nilai untuk serta diimani dan turut dijalani pihak lain. Jika benar/salah merupakan satu konsep biner, maka kompromi menjadikannya mati. Artinya, benar/salah tidak lagi harus berseberangan. Jika satu perkara dinilai benar, perkara yang berlawanan tidak mesti menjadi salah. Pun bernilai salahnya satu hal tidak menjadikan hal yang bertentangan menjadi benar.
Misal saja dalam perkara berbahasa di komunitas masyarakat jawa. Kita tahu bahwa bahasa jawa merupakan salah satu bahasa yang di dalamnya terdapat unggah-ungguh (tatanan sopan santun) dalam pemakaiannya. Dalam penggunaannya, terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai unggah-ungguh. Beberapa beranggapan bahwa unggah-ungguh perlu digunakan (ketika berinteraksi dengan orang-orang tertentu) sebagai perwujudan sikap sopan. Sementara, beberapa yang lain memahami unggah-ungguh sebagai suatu yang tidak wajib dilakukan. Tidak digunakannya tatanan ini dianggapnya sebagai simbol penghilang sekat antara pihak satu dan yang lain. Bahwa yang demikian menjadikan mereka setara dan menumbuhkan intimasi dalam interaksi. Begitulah. Maka, dua hasil pikir tersebut menjadi dua nilai benar jika diukur melalui konsep subjektivitas dan relativitas yang dilandasi kompromi.
Namun, bukankah manusia itu rumit? Dan yang demikian terlampau sederhana? Lalu, bagaimana jika kompromi dibuat mati, sementara hidup fanatisme (fanaticism) dalam pribadi si penimbang salah/benar (subjek)? Sebentar, aku belum ngopi.
Lagipula, bukankah kompromi yang menjadikan
manusia, manusia yang bersosial?
No comments:
Post a Comment
Pendapatmu??